Kamis, 10 Desember 2009

Konversi Lahan


1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
       Satu langkah berani yang disampaikan pemerintah dalam paket Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) adalah dimunculkannya wacana pengadaan lahan pertanian abadi pada bulan juni 2005. Lahan pertanian pangan abadi adalah suatu kebijakan yang mengatur mengenai tata guna lahan, khususnya bertujuan untuk melindungi pengalih fungsian lahan pertanian untuk keperluan yang lainnya. Pemerintah mentargetkan pencapaian 15 juta ha lahan sawah ditambah dengan 15 juta ha lahan tegalan, yang hanya diperbolehkan digunakan untuk lahan pertanian, dan tidak diijinkan dialihfungsikan untuk penggunaan yang lainnya terutama pada penggunaan pembangunan sector selain dibidang pertanian.
                   Masalah yang paling pokok dalam menangani ketersediaan pangan, akan sangat tergantung pada bagaimana kebijakan nasional di bidang pertanian dalam memanage usaha penyediaan pangan. Kita harus mampu menghitung yang matang untuk jangka pendek dan jangka panjang, dalam memenuhi ketersediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Perhitungan tersebut tentunya harus mempertimbangkan angka pertumbuhan penduduk, ketersediaan lahan, dan kapasitas produksi, serta hitungan-hitungan lain di luar aspek teknis pertanian, dengan harapan kebutuhan penduduk akan hasil komoditas pertanian dapat tecapai.
                   Kita menyadari bahwa dari tahun ke tahun, jumlah penduduk terus meningkat, sementara ketersediaan lahan pertanian yang subur, tidak bertambah karena adanya alihfungsi lahan (konversi lahan). Lahan yang tersedia itupun setiap tahun terus berkurang akibat konversi lahan, bagi pengembangan sektor-sektor di luar pertanian. Oleh karena itu, perlu ditata pengelolaannya secara komprehensif, bukan hanya untuk jangka pendek, tetapi jangka menengah dan jangka panjang. Jangan tumpang tindih, jangan hanya untuk memenuhi kebutuhan satu sektor saja dengan mengorbankan sektor yang lain, melainkan memperhatikan segala sektor yang berhubungan dengan salah satu sektor yang sedang dikembangkan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Tujuan
1.    Untuk mewujudkan keinginan untuk lahan pertanian pangan abadi.
2.    Untuk mengetahui bagaimana upaya dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perlindungan lahan-lahan produktif (konservasi).

2. DATA PERMASALAHAN
       Sebuah tantangan yang sangat besar guna mewujudkan keinginan untuk lahan pertanian pangan abadi. Berbagai persoalan mendasar menghadang di depan mata. yang pertama lemahnya perangkat hukum formal yang ada di Indonesia, kondisi ini memberikan peluang yang cukup besar bagi pihak tertentu untuk memperebutkan lahan pertanian untuk kebutuhan lainnya. kedua kurang terpadunya rencana tata ruang dan wilayah yang ada di Indonesia. Tidak adanya sinkronisasi pembagian tata ruang dan wilayah antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan peluang bagi banyak kepentingan untuk bermain di dalam mengatur rencana tata ruang dan wilayah suatu daerah. Ketiga lemahnya system pengawasan pemerintah, terkait pengalihfungsian lahan khususnya yang terjadi dalam skala kecil. Pemerintah khususnya dari departemen pertanian, juga tidak mampu memberikan langkah persuasif dan preventif terhadap terjadinya pengalihfungsian lahan pertanian ke nonpertanian.
       Berbagai kendala di atas, merupakan hambatan yang akan dihadapi untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi di Indonesia. Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan citacita tersebut tentunya harus dibarengi dengan persiapan perangkat hukum yang ada. Kekuatan yang harus dimiliki untuk mencegah terjadinya pengalihfungsian lahan, tentunya harus dilandasi oleh kekuatan hokum yang mengikat dan menjadi rujukan bagi semua rencana tata ruang dan wilayah di seluruh daerah di Indonesia. Termasuk yang menjadi ganjalan adalah adanya Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005, tentang pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Kepentingan umum disini lebih besar porsinya untuk kebutuhan infrastruktur seperti jalan, perkantoran dan lainlain.
       Maka dari itu, apabila pemerintah secara serius ingin mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, maka perlu disiapkan perangkat hukum yang lebih tinggi dari perpres. Dalam skema kebijakan pembangunan pertanian Indonesia sampai saat ini, yang menjadi persoalan mendasar adalah rendahnya kepemilikan lahan yang dikuasai oleh petani. Sampai kapan pun apabila luasan kepemilikan lahan ratarata dari petani masih sangat kecil, sedangkan introduksi teknologi ke lahan pertanian mengalami stagnasi, maka akan bisa dipastikan sektor pertanian akan mengalami kemunduran.
       Beberapa kemungkinan akan muncul apabila petani memiliki lahan sempit. Kemungkinan yang pertama adalah, petani akan tetap mempertahankan usahataninya meskipun lambat laun mereka akan semakin terjerat hutang, karena cost production lebih tinggi dari hasil penjualan. Kemungkinan yang kedua adalah, petani akan mensewakan lahannya kepada petani lainnya, karena apabila dalam luasan yang sangat kecil maka usahataninya tidak akan efisien. Sedangkan kemungkinan yang terburuk adalah, petani akan menjual lahannya dan akan beralih profesi.
       Kemungkinan di atas tampaknya bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang terjadi secara bersarbesaran di Indonesia. Pada kondisi tersebut, kita tidak bias menyalahkan pilihan petani melakukan hal tersebut. Pilihan untuk menjual lahannya merupakan pilihan yang paling rasional ditengah desakan ekonomi yang cukup berat. Namun, secara umum dalam konteks Nasional hal tersebut merupakan ancaman bagi ketahanan pangan Nasional. Pengalih fungsian lahan pertanian secara besarbesaran akan membawa konsekuensi pada semakin menurunnya supply pangan domestik. Semakin kecilnya supply pangan domestik, tentunya akan memberikan multiplier effect kepada instabilitas politik dan ekonomi secara nasional.
1.    Dinamika Reformasi Agraria
       Pengertian reformasi agraria / landreform secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :
1.    Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas, usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.
2.    Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).
3.    Pengaturan hubungan pemilikpenggarap (UU bagi hasil, dan lainlain).
4.    Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada masyarakat.
5.    Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.
6.    Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lainlain).
Adapun tujuan dari landreform adalah :
a.    penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan,
b.    peningkatan produktivitas pertanian, dan
c.    peningkatan pendapatan nasional.
       Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu :
a.    Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah.
b.    Industri berkembang.
c.    Secara multiplier akan meningkatkan GNP.
       Halhal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya konversi lahan. Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil Sensus Pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan pemukiman. Konvensi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional.
       Konversi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan pedesaan serta penurunan hilangnya aset pertanian bernilai tinggi. Akhirakhir ini berkembang kecenderungan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan hasil panen padi per hektar mengalami stagnasi akibat kejenuhan teknologi. Dalam situasi tersebut maka upaya untuk menekan “kehilangan produksi pangan” akibat konversi lahan sawah menjadi lebih penting. Untuk kasus di Jawa, memang sulit menghindari kenaikan lahan untuk kegiatan non pertanian, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas.
       Atas pertimbangan itu, diperlukan upaya mengarahkan proses konversi lahan pada lahan pertanian yang kurang produktif, sedangkan lahan pertanian produktif dicadangkan bagi produksi pangan Berbagai upaya untuk melakukan reformasi agraria sebenarnya sudah sejak lama dilakukan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1979, Indonesia telah mengirimkan sebuah delegasi besar yang dipimpin oleh Menteri Pertanian pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development di Roma yang diselenggarakan Food and Agriculture Organization (FAO). Sayangnya, sejak pertemuan FAO 1979 tersebut hingga saat ini, masih terjadi proses hambatan yang signifikan untuk mewujudkan pembaruan agraria di Indonesia.
       Buktibuktinya diantaranya yakni masih adanya ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian serta masih terbatas dan lemahnya akses petani kepada sumber daya lahan. Karena masalah sumber daya lahan pertanian yang belum terselesaikan akibat program reforms agraria belum berjalan, pembangunan pertanian saat ini dihadapkan kepada masalah dan sekaligus tantangan yang cukup kompleks.
       Pertama, semakin bertambahnya jumlah rumah tangga petani (RTP) gurem yang menguasai lahan di bawah 0,5 ha. Jumlah petani gurem telah bertambah dari 10,8 juta KK pada tahun 1993 yang menjadi 13,7 juta KK pada tahun 2003 yang berarti meningkat 2,4% per tahun.
       Kedua, laju konversi lahan pertanian dalam tiga tahun terakhir berdasarkan data BPS (tahun 2004), telah mencapai:
(1) alih fungsi lahan sawah ke non sawah = 187.720 ha per tahun, dengan rincian: (a) alih fungsi ke non pertanian = 110.164 ha per tahun dan
(b) alih fungsi ke pertanian lainnya = 77.556 ha per tahun;
(2) alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian, sebesar 9.152 ha per tahun.
       Ketiga, belum terjaminnya kepastian hak atas tanah petani (land tenure), sehingga posisi petani dalam mengakses sumber pembiayaan perbankan sangat lemah.
       Keempat, terjadinya degradasi lahan pertanian akibat pengelolaan lahan yang tidak menerapkan kaidah teknis konservasi tanah dan air mengakibatkan jumlah lahan kritis di Indonesia makin bertambah. Pada tahun 1992 luas lahan pertanian kritis di luar kawasan hutan mencapai 18 juta hektar, pada tahun 2005 meningkat menjadi + 25 juta hektar.
       Kelima, banyaknya lahan terlantar (idle land) yang terjadi karena masalah landreform cukup luas, apabila masalah ini dapat dipecahkan maka peluang untuk perluasan areal pertanian semakin terbuka lebar. Masalah penyusutan lahan pertanian produktif yang sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan tersebut, apabila tidak segara diambil langkah kebijakan yang tepat untuk mengendalikannya, maka ketergantungan Indonesia terhadap pasokan pangan dari luar akan semakin meningkat dan ketahanan pangan nasional dapat terganggu. Jelas bahwa penyusutan lahan pertanian melalui konversi lahan pertanian ke non pertanian akan memberikan dampak negatif pada ketersediaan pangan, dan hal ini akan membawa dampak yang lebih buruk terhadap stabilisasi nasional.

3.PEMBAHASAN
                   Proses pembangunan di sektor pertanian di negara berkembang seperti di Indonesia, tidak bisa delepaskan dari konteks penataan dan pengelolaan masalah agraria. Secara konsepsi, agraria sebenarnya terdiri dari dua aspek pokok yang berbeda, yaitu dilihat dari aspek penguasaan dan pemilikan serta dilihat dari aspek penggunaan dan pemanfaatannya. Kedua aspek tersebut jelas berbeda antara satu dengan yang lain. Aspek yang pertama berkenaan dengan aspek hukum yang merupakan hubungan relasi antara manusia dengan lahan. Kemudian aspek yang kedua adalah membicarakan tentang penggunaan dan pemanfaatan lahan sebagai sumber penghidupan.
                   Undangundang Pokok Agraria (UUPA) no 5 tahun 1960, beserta amandemennya memiliki kesan hanya mengedepankan masalah penguasaan dan kepemilikan. Sedangkan masalah pemanfaatan dan penggunaannya sedikit disentuh. Padahal, apabila kita ingin berbicara sebuah proses reformasi agraria yang seutuhnya dan berkesinambungan, maka kita harus mampu menyeimbangkan diantara keduanya. Namun, kita bisa menyadari mengapa UUPA lebih menekankan pada aspek pemerataan kepemilikan lahan, karena pada saat itu isu politik yang berhembus adalah isu pemerataan kesejahteraan.
       Pendekatan yang dilakukan pemerintah melalui departemen pertanian pada masa revolsi hijau, pemerintah lebih menekankan pada peningkatan hasil panen. Pemerintah hanya mengejar output hasil panen tanpa mengedepankan aspek pemerataan kesejahteraan kepada seluruh petani. Pola pendekatan yang dilakukan pmerintah tersebut, mengakibatkan kemampuan intervensi pemerintah terhadap penguasaan lahan pertanian secara merata tidak dapat dilakukan. Lemahnya pemerintah dalam memberikan larangan untuk alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, membawa dampak pada penurunan share kesejahteraan.
       Pembangunan pertanian melalui proses reformasi agraria yang seutuhnya serta berkesinambungan, perlu memadukan secara proporsional dan seimbang antara pemerataan penguasaan lahan dan pemanfaatan lahan yang optimal. Pemerintah harus konsentrasi pada upaya peningkatan kepemilikan lahan petani dan upaya meningkatkan nilai manfaat lahan untuk sektor pertanian. Perbaikan kondisi lahan berkaitan dengan kesuburan tanah, juga tidak bisa ditinggalkan. Maka, dengan upayaupaya tersebut, proses reformasi agraria yang diharapkan akan memberikan manfaat yang lebih bagi kesejahteraan dan pemerataan ekonomi.
       Dalam jangka menengah/panjang strategi yang harus diambil dalam pelaksanaan reformasi agraria yakni:
(1)  Perluasan tanah pertanian produktif;
(2)  Simultan dengan perluasan tanah pertanian, pengembangan transmigrasi perlu disempurnakan dan dilakukan secara lebih sistematis dan komprehensif;
(3) Perluasan kesempatan kerja non pertanian di pedesaan yang diarahkan pada industri yang berbasis sumber daya pedesaan;
(4) Reforma pajak tanah perlu dilaksanakan dengan pengenaan pajak yang tinggi pada tanah diatas pajak maksimum;
(5) Setahap demi setahap, persiapan untuk melaksanakan reforma agraria di lokasilokasi yang secara politikekonomisosial budaya adalah layak, harus terus dilakukan secara sistematis dan konsisten, diantaranya adalah mempersiapkan kelembagaan masyarakat yang kuat dan pengaturan system penyakapan.
       Memang tidak mudah untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, namun berbagai upaya konstruktif harus dilakukan pemerintah utuk mewujudkan hal tersebut. Target pencapaian luasan lahan pertanian pangan abadi seluas 15 juta hektar memerlukan upaya yang kuat. Semangat ini sebenarnya mecerminkan adanya aspek reformasi agraria (land reform). Pada saat dicanankannya RPPK di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, oleh Presiden dikatakan bahwa revitalisasi ini diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi.
       Terkait dengan aspek keagrariaan dalam RPPK tersebut, pemerintah berencana untuk mewujudkan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar di seluruh Indonesia. “Untuk mewujudkan target lahan pertanian abadi tersebut saya menilai mustahil tercapai tanpa adanya program reforms agraria,” Reformasi keagrariaan diperlukan untuk meningkatkan akses petani terhadap lahan dan air serta meningkatkan rasio luas lahan perkapita. Selain dengan reforms agraria, pengembangan luas lahan pertanian juga dilakukan dengan mengendalikan konversi lahan pertanian dan pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta hektar, fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan lahan pertanian baru), serta penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan sebagai penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani.
       Kebijakan lahan pertanian pangan abadi dari sisi tata ruang nasional, merupakan wacana baru. Penetapan mekanisme lahan abadi berpedoman kepada penentuan rancangan umum tata ruang suatu wilayah. Setelah ditetapkan menjadi lahan pertanian abadi, maka lahan tersebut tidak boleh dipergunakan untuk kegunaan yang lain. Konsistensi pemerintah perlu ditegakkan dalam pengalihfungsian lahan.

4. KESIMPULAN
Beberapa hal yang bisa dijadikan simpulan dari paparan di atas antara lain
1.    Proses reformasi agraria harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan pemerataan penguasaan atas lahan dan upaya pemanfaatan lahan itu sendiri untuk peningkatan kesejahteraan. Sebagai upaya untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, pemerintah harus memberikan payung hukum yang cukup kuat, khususnya untuk mencega terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian.
2.    Pemerintah diharapkan memberikan insentif khusus untuk pengelolaan lahan pertanian abadi, agar lahan pertanian pangan abadi tersebut memiliki nilai manfaat yang lebih tinggi untuk kesejahteraan, pengkoreksian penggunaan lahan, khususnya untuk penggunaan lahan pertanian pangan abadi dilakukan minimal selama 75 – 100 tahun, Pemerintah diharapkan sesegera mungkin untuk mengkoordinasikan dengan pemerintah daerah, terkait masalah tata ruang dan tata wilayah yang ada di setiap daerah.
3.    Upaya strategis dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perlindungan lahan-lahan produktif (konservasi) yang diterapkan bersifat menyeluruh dan ditopang oleh suatu peraturan perundang-undangan yang akan dibuat adalah meliputi hal-hal berikut:
a.    menjamin tersedianya lahan pertanian yang cukup,
b.    mampu mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian secara tidak terkendali
c.    menjamin akses masyarakat petani terhadap lahan pertanian yang tersedia,
d.   menjamin pemenuhan dan keamanan pangan bagi masyarakat. Idealnya kebijakan pangan dimulai dengan reformasi agraria, khususnya pendistribusian tanah bagi petani untuk mencapai skala ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2006. Mencari Model Reforma Agraria untuk Wujudkan Lahan Abadi

Irawan, B. 2001. Pencadangan Lahan Pertanian di Jawa. Bulletin Agro Ekonomi, 1(2) : 16

Nugroho, 2005. Konversi lahan sawah, potensi dampak, pola pemanfaatannya dan faktor determinan. Buletin Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 23. no 1. Juli 2005. 118

Silitonga, C., D.J. Rachbini, M.H. Sawit dan A. Pakpahan. 1995. Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional 19691994. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta.

Syahyuti, 2006, Kebijakan Lahan Pertanian Abadi sulit di wujudkan. Buletin Analisis kebijakan pertanian, vol 4 no 2.juni 2006 : 96108

Kamis, 15 Oktober 2009

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DENGAN SISTEM KEAMANAN PANGAN DALAM PASAR GLOBAL


PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DENGAN SISTEM KEAMANAN PANGAN DALAM PASAR GLOBAL


ABSTRAK

Pada era perdagangan bebas petani sebagai produsen utama produk pertanian harus dapat memasuki persaingan dengan banyak produsen lain pada tingkat luas (global). Berbagai penolakan terhadap produk ekspor pertanian dari Indonesia di banyak negara sudah sering terjadi. Banyak penolakan produk ekspor pertanian Indonesia akibat tidak memenuhi syarat SPS (Sanitary and Phytosanitary) terutama karena adanya serangga, jamur, kotoran serta residu pestisida pada produk yang dipasarkan. Salah satu kesepakatan yang dikeluarkan oleh WTO adalah persetujuan bidang pertanian (Agreement on Agriculture) yang mengatur tentang perjanjian Sanitari (kesehatan) dan Fitosanitari (kesehatan tanaman) atau disingkat SPS. Perjanjian SPS bertujuan melindungi kehidupan manusia, hewan termasuk ikan dan tumbuhan di suatu negara. Indonesia telah mempunyai ketetapan BMR (Batas Maksimum Residu) Pestisida pada Hasil Pertanian yang dikeluarkan melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 711/Kpts/TP.27/8/96. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep dan teknologi pengelolaan hama secara global dan nasional telah diakui sebagai teknologi pengendalian hama yang efektif, efisien dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga dapat memajuakan kualitas dan daya pasar pada era perdagangan bebas.

PENDAHULUAN

Tanpa disadari pada saat ini kita telah memasuki era globalisasi ekonomi yang mau tidak mau memaksa petani sebagai produsen utama produk-produk pertanian secara langsung maupun tidak langsung, dimana para petani harus dapat memasuki persaingan dengan banyak produsen lain pada tingkat luas (global). Produk-produk pertanian tidak hanya bersaing dengan produk-produk pertanian luar negeri di pasar global tetapi juga pada pasar lokal.

Dalam pasar global terbuka suatu negara tidak boleh mengenakan proteksi dan hambatan tarip terhadap komoditi yang masuk kewilayahnya. Dalam kondisi demikian persaingan menjadi semakin sengit dan ketat, produsen kuat bersaing dengan produsen lemah, akibatnya produsen yang kalah bersaing akan semakin termarginalkan. Keadaan demikian yang sekarang sedang terjadi dengan produk-produk pertanian khususnya produk pangan buah-buahan dan sayuran.

Globalisasi ekonomi kelihatannya tidak dapat dihalang-halangi atau dihambat apalagi Indonesia telah meratifikasi kesepakatan perdagangan internasional yang diatur oleh WTO, juga persetujuan atau konvensi internasional lainnya sebagai konsekuensi Indonesia yang menjadi anggota WTO dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Kita seharusnya menghadapi keadaan tersebut dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan, teknologi, sumberdaya manusia dan sumber dana sehingga globalisasi ekonomi dapat kita manfaatkan sebagai peluang terbuka untuk menumbuhkan perekonomian bangsa dan rakyat. Kemampuan dan daya saing nasional dalam memasuki era globalisasi ekonomi perlu ditingkatkan.

Petani harus berupaya secara maksimal untuk meningkatkan kemampuannya masing-masing untuk menghasilkan produk pertanian yang mampu memenuhi berbagai persyaratan teknis yang diminta oleh konsumen global terutama kualitas dari produk yang akan dipasarkan. berbagai persyaratan dan standar teknis telah diminta oleh konsumen yang harus dilaksanakan oleh petani bila kita ingin agar produk pertanian Indonesia diterima di pasar global. Agar petani dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global dan domestik perlu dilakukan perubahan dan perbaikan dalam praktek perlindungan tanaman yang aman bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

BAHAN KAJIAN

Sulitnya Produk Indonesia Memasuki Pasar Global

Berbagai penolakan terhadap produk ekspor pertanian dari Indonesia di banyak negara sudah sering terjadi. Di dalam negeri hal ini tentu saja menimbulkan kerugian besar baik bagi negara, teruamma para petani. Sebagai contoh sayuran hasil produksi petani dari Sumatera Utara ditolak oleh pasar Singapura karena mengandung residu pestisida yang melebihi MRLs (Maximum Residue Limits) yang berlaku di negara tersebut. Buah-buahan Indonesia pernah ditolak memasuki Taiwan karena dikhawatirkan mengandung serangan hama lalat buah. Hal tersebut menunjukkan sulitnya produk-porduk pertanian memasuki pasar global.

Banyak penolakan produk ekspor pertanian Indonesia akibat tidak memenuhi syarat SPS (Sanitary and Phytosanitary) terutama karena adanya serangga, jamur, kotoran serta residu pestisida pada produk yang dipasarkan. Kasus penolakan produk pertanian Indonesia di pasar luar negeri disebabkan karena kualitas produk pertanian yang diekspor belum dapat memenuhi syarat yang diinginkan oleh negara tujuan ekspor dan standar internasional yang telah ditetapkan bersama oleh negara-negara sedunia yang tergabung dalam WTO.

Dengan kemampuan teknologi dan SDM yang dimiliki oleh sebagian besar petani tanaman pangan dan hortikultura di Indonesia, kelihatannya sangat sulit memenuhi sayarat yang diminta oleh sistem perdagangan internasional. Dari survei yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dilaporkan bahwa beberapa komoditas buah (jeruk, jambu biji, semangka, mangga, apel, anggur, strawberry) dan komoditas sayuran (kangkung, bawang merah, cabai, tomat,sawi, wortel, brokoli, paprika, kentang, mentimun, kubis) penggunaan pestisida oleh petani sangat intensif dan cenderung melebihi dosis terutama jika tingkat serangan hama dan penyakit sangat tinggi. Praktek pengendalian hama demikian akan meninggalkan residu pestisida pada tanaman yang dibudidayakan, dan besar kemungkinannya melebihi batas MRLs yang berlaku di negara tujuan ekspor.

Karena kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan petani terbatas, mereka kurang memperhatikan dan melaksanakan perlakuan perlindungan pasca panen terutama selama masa penyimpanan dan pengangkutan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas hasil seperti terikutnya sisa-sisa serangga, bekas serangan penyakit, kandungan mikroba berbahaya.

Persetujuan WTO tentang Pertanian

Salah satu kesepakatan yang dikeluarkan oleh WTO adalah persetujuan bidang pertanian (Agreement on Agriculture) yang mengatur tentang perjanjian Sanitari (kesehatan) dan Fitosanitari (kesehatan tanaman) atau disingkat SPS. Perjanjian SPS bertujuan melindungi kehidupan manusia, hewan termasuk ikan dan tumbuhan di suatu negara (Hamzah, 2002).

SPS mengatur tentang hak dan kewajiban suatu negara melindungi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan dari cemaran; kontaminasi hama, penyakit, organisme pembawa dan penyebab penyakit, cemaran, zat aditif, racun atau organisme penyakit yang terbawa pada makanan, minuman, hewan, tumbuhan dan produk-produk yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Perjanjian SPS memberikan kedaulatan dan hak pada negara anggota mengambil tindakan untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Karantina Tumbuhan

Perlu dilakukan tindakan karantina untuk mencegah pemasukan dan penyebaran Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) ke suatu negara atau daerah yang masih bebas dari OPT terutama di Indonesia. Dalam kerangka Perjanjian SPS untuk melindungi kehidupan tumbuhan di suatu negara dari risiko masuknya hama dan penyakit yang berpotensi menetap atau menyebar secara cepat. Karantina merupakan bagian suatu program ketahanan pangan/perlindungan keamanan pangan dari cemaran biologis berupa organisme pengganggu (Hamzah, 2002).

Di Indonesia pelaksaaan karantina tumbuhan telah didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai yaitu UURI Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan PP Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. Isi peraturan perundang-undangan tentang karantina telah mendapat persetujuan internasional yang ditetapkan melalui persidangan Konvensi Internasional Perlindungan Tumbuhan atau IPPC. Dalam ketentuan UU No. 16/1992 diatur persyaratan pemasukan (impor) dan pengeluaran (ekspor) yang cukup ketat yaitu keharusan adanya Surat Kesehatan Tanaman (Phytosanitary Certificate) dan Surat Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate) dari negara asal/tujuan.

Batas Maksimum Residu Pestisida

Pada era perdagangan bebas globalisasi saat ini, Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida sudah merupakan salah satu instrumen hambatan non tarif yang dimanfaatkan oleh banyak negara untuk memperlancar ekspor produk-produk pertanian. Suatu negara akan berusaha untuk semakin menurunkan nilai Batas Maksimum Residu sehingga menyulitkan negara lain untuk memasukkan produk-produk pertaniannya ke negara tersebut. Sebaliknya suatu negara akan berusaha untuk meningkatkan Batas Maksimum Residu dengan menggunakan analisis dan argumentasi ilmiah. Hal ini dimungkinkan karena sesuai dengan ketentuan Perjanjian SPS.

Indonesia telah mempunyai ketetapan BMR (Batas Maksimum Residu) Pestisida pada Hasil Pertanian yang dikeluarkan melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 711/Kpts/TP.27/8/96. Dinyatakan bahwa hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi BMR yang ditetapkan. Sedangkan hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak.

Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep dan teknologi pengelolaan hama secara global dan nasional telah diakui sebagai teknologi pengendalian hama yang efektif, efisien dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam setiap standar GAP (Good Agriculture Practice) dan Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture) seperti yang ditetapkan oleh FAO, WHO, UNEP dan juga Euregap, PHT selalu dimasukkan sebagai suatu standar wajib yang harus dilaksanakan oleh para produsen pertanian termasuk petani di Indonesia.

PHT sangat hati-hati dalam penggunaan pestisida kimia, dengan membatasi penggunaan pestisida berbahaya pada kegiatan-kegiatan pertanian maupun tidak. PHT lebih memanfaatkan pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan musuh alami seperti predator, parasitoid dan patogen serangga.

KESIMPULAN

Masalah mutu dan keamanan pangan produk pertanian pada umumnya belum menjadi perhatian utama dalam upaya untuk menembus perdagangan global. Masalah keamanan pangan seharusnya menjadi salah satu permasalahan yang harus diperhatikan. Masalah keamanan pangan terutama produk-produk pertanian belum banyak dipahami masyarakat yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kemanan produk pangan tersebut.

Mutu produk tidak hanya dilihat dari kenampakan luar (bersih atau kotor) tetapi harus diperhatikan juga aspek kesehatan, misal: kandungan mikroba patogen atau kandungan residu pestisida produk yang dipasarkan. Sebagian besar petani di Indonesia masih menerapkan pengendalian hama secara konvensional yang mengutamakan penggunaan pestisida kimia dan belum menrapkan PHT secara menyeluruh. Akibatnya produk pertanian yang dihasilkan belum dapat memenuhi standar BMRP di suatu negara.

Keberhasilan dalam upaya untuk memasarkan produk-produk pertanian harus berdasarkan pada penggunaan pestisida sesuia dengan kebutuhan dan harus menerapkan PHT.

DAFTAR PUSTAKA

Darmaga. 2007. Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan. http://infovet.blogspot.com. tgl 2007 09.

Hamzah. 2002. Musuh Alami Hama. http://www.kttp.deptan.go.id. Tgl 28 2002.

Kasumbogo. 2003. Pengendalian HAama dan Penyakit Tanaman dengan Sisitem Keamanan Pangan. http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id. tgl19 2003 10.00 WIB.

Sulastri. 2008. Hambatan dalam Perdagangan Babas. http://www.detiknews.com 12/09/2008 08:33 WIB