Kamis, 15 Oktober 2009

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DENGAN SISTEM KEAMANAN PANGAN DALAM PASAR GLOBAL


PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN DENGAN SISTEM KEAMANAN PANGAN DALAM PASAR GLOBAL


ABSTRAK

Pada era perdagangan bebas petani sebagai produsen utama produk pertanian harus dapat memasuki persaingan dengan banyak produsen lain pada tingkat luas (global). Berbagai penolakan terhadap produk ekspor pertanian dari Indonesia di banyak negara sudah sering terjadi. Banyak penolakan produk ekspor pertanian Indonesia akibat tidak memenuhi syarat SPS (Sanitary and Phytosanitary) terutama karena adanya serangga, jamur, kotoran serta residu pestisida pada produk yang dipasarkan. Salah satu kesepakatan yang dikeluarkan oleh WTO adalah persetujuan bidang pertanian (Agreement on Agriculture) yang mengatur tentang perjanjian Sanitari (kesehatan) dan Fitosanitari (kesehatan tanaman) atau disingkat SPS. Perjanjian SPS bertujuan melindungi kehidupan manusia, hewan termasuk ikan dan tumbuhan di suatu negara. Indonesia telah mempunyai ketetapan BMR (Batas Maksimum Residu) Pestisida pada Hasil Pertanian yang dikeluarkan melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 711/Kpts/TP.27/8/96. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep dan teknologi pengelolaan hama secara global dan nasional telah diakui sebagai teknologi pengendalian hama yang efektif, efisien dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga dapat memajuakan kualitas dan daya pasar pada era perdagangan bebas.

PENDAHULUAN

Tanpa disadari pada saat ini kita telah memasuki era globalisasi ekonomi yang mau tidak mau memaksa petani sebagai produsen utama produk-produk pertanian secara langsung maupun tidak langsung, dimana para petani harus dapat memasuki persaingan dengan banyak produsen lain pada tingkat luas (global). Produk-produk pertanian tidak hanya bersaing dengan produk-produk pertanian luar negeri di pasar global tetapi juga pada pasar lokal.

Dalam pasar global terbuka suatu negara tidak boleh mengenakan proteksi dan hambatan tarip terhadap komoditi yang masuk kewilayahnya. Dalam kondisi demikian persaingan menjadi semakin sengit dan ketat, produsen kuat bersaing dengan produsen lemah, akibatnya produsen yang kalah bersaing akan semakin termarginalkan. Keadaan demikian yang sekarang sedang terjadi dengan produk-produk pertanian khususnya produk pangan buah-buahan dan sayuran.

Globalisasi ekonomi kelihatannya tidak dapat dihalang-halangi atau dihambat apalagi Indonesia telah meratifikasi kesepakatan perdagangan internasional yang diatur oleh WTO, juga persetujuan atau konvensi internasional lainnya sebagai konsekuensi Indonesia yang menjadi anggota WTO dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Kita seharusnya menghadapi keadaan tersebut dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan, teknologi, sumberdaya manusia dan sumber dana sehingga globalisasi ekonomi dapat kita manfaatkan sebagai peluang terbuka untuk menumbuhkan perekonomian bangsa dan rakyat. Kemampuan dan daya saing nasional dalam memasuki era globalisasi ekonomi perlu ditingkatkan.

Petani harus berupaya secara maksimal untuk meningkatkan kemampuannya masing-masing untuk menghasilkan produk pertanian yang mampu memenuhi berbagai persyaratan teknis yang diminta oleh konsumen global terutama kualitas dari produk yang akan dipasarkan. berbagai persyaratan dan standar teknis telah diminta oleh konsumen yang harus dilaksanakan oleh petani bila kita ingin agar produk pertanian Indonesia diterima di pasar global. Agar petani dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global dan domestik perlu dilakukan perubahan dan perbaikan dalam praktek perlindungan tanaman yang aman bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

BAHAN KAJIAN

Sulitnya Produk Indonesia Memasuki Pasar Global

Berbagai penolakan terhadap produk ekspor pertanian dari Indonesia di banyak negara sudah sering terjadi. Di dalam negeri hal ini tentu saja menimbulkan kerugian besar baik bagi negara, teruamma para petani. Sebagai contoh sayuran hasil produksi petani dari Sumatera Utara ditolak oleh pasar Singapura karena mengandung residu pestisida yang melebihi MRLs (Maximum Residue Limits) yang berlaku di negara tersebut. Buah-buahan Indonesia pernah ditolak memasuki Taiwan karena dikhawatirkan mengandung serangan hama lalat buah. Hal tersebut menunjukkan sulitnya produk-porduk pertanian memasuki pasar global.

Banyak penolakan produk ekspor pertanian Indonesia akibat tidak memenuhi syarat SPS (Sanitary and Phytosanitary) terutama karena adanya serangga, jamur, kotoran serta residu pestisida pada produk yang dipasarkan. Kasus penolakan produk pertanian Indonesia di pasar luar negeri disebabkan karena kualitas produk pertanian yang diekspor belum dapat memenuhi syarat yang diinginkan oleh negara tujuan ekspor dan standar internasional yang telah ditetapkan bersama oleh negara-negara sedunia yang tergabung dalam WTO.

Dengan kemampuan teknologi dan SDM yang dimiliki oleh sebagian besar petani tanaman pangan dan hortikultura di Indonesia, kelihatannya sangat sulit memenuhi sayarat yang diminta oleh sistem perdagangan internasional. Dari survei yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dilaporkan bahwa beberapa komoditas buah (jeruk, jambu biji, semangka, mangga, apel, anggur, strawberry) dan komoditas sayuran (kangkung, bawang merah, cabai, tomat,sawi, wortel, brokoli, paprika, kentang, mentimun, kubis) penggunaan pestisida oleh petani sangat intensif dan cenderung melebihi dosis terutama jika tingkat serangan hama dan penyakit sangat tinggi. Praktek pengendalian hama demikian akan meninggalkan residu pestisida pada tanaman yang dibudidayakan, dan besar kemungkinannya melebihi batas MRLs yang berlaku di negara tujuan ekspor.

Karena kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan petani terbatas, mereka kurang memperhatikan dan melaksanakan perlakuan perlindungan pasca panen terutama selama masa penyimpanan dan pengangkutan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas hasil seperti terikutnya sisa-sisa serangga, bekas serangan penyakit, kandungan mikroba berbahaya.

Persetujuan WTO tentang Pertanian

Salah satu kesepakatan yang dikeluarkan oleh WTO adalah persetujuan bidang pertanian (Agreement on Agriculture) yang mengatur tentang perjanjian Sanitari (kesehatan) dan Fitosanitari (kesehatan tanaman) atau disingkat SPS. Perjanjian SPS bertujuan melindungi kehidupan manusia, hewan termasuk ikan dan tumbuhan di suatu negara (Hamzah, 2002).

SPS mengatur tentang hak dan kewajiban suatu negara melindungi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan dari cemaran; kontaminasi hama, penyakit, organisme pembawa dan penyebab penyakit, cemaran, zat aditif, racun atau organisme penyakit yang terbawa pada makanan, minuman, hewan, tumbuhan dan produk-produk yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Perjanjian SPS memberikan kedaulatan dan hak pada negara anggota mengambil tindakan untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Karantina Tumbuhan

Perlu dilakukan tindakan karantina untuk mencegah pemasukan dan penyebaran Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) ke suatu negara atau daerah yang masih bebas dari OPT terutama di Indonesia. Dalam kerangka Perjanjian SPS untuk melindungi kehidupan tumbuhan di suatu negara dari risiko masuknya hama dan penyakit yang berpotensi menetap atau menyebar secara cepat. Karantina merupakan bagian suatu program ketahanan pangan/perlindungan keamanan pangan dari cemaran biologis berupa organisme pengganggu (Hamzah, 2002).

Di Indonesia pelaksaaan karantina tumbuhan telah didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai yaitu UURI Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan PP Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan. Isi peraturan perundang-undangan tentang karantina telah mendapat persetujuan internasional yang ditetapkan melalui persidangan Konvensi Internasional Perlindungan Tumbuhan atau IPPC. Dalam ketentuan UU No. 16/1992 diatur persyaratan pemasukan (impor) dan pengeluaran (ekspor) yang cukup ketat yaitu keharusan adanya Surat Kesehatan Tanaman (Phytosanitary Certificate) dan Surat Kesehatan Hewan (Animal Health Certificate) dari negara asal/tujuan.

Batas Maksimum Residu Pestisida

Pada era perdagangan bebas globalisasi saat ini, Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida sudah merupakan salah satu instrumen hambatan non tarif yang dimanfaatkan oleh banyak negara untuk memperlancar ekspor produk-produk pertanian. Suatu negara akan berusaha untuk semakin menurunkan nilai Batas Maksimum Residu sehingga menyulitkan negara lain untuk memasukkan produk-produk pertaniannya ke negara tersebut. Sebaliknya suatu negara akan berusaha untuk meningkatkan Batas Maksimum Residu dengan menggunakan analisis dan argumentasi ilmiah. Hal ini dimungkinkan karena sesuai dengan ketentuan Perjanjian SPS.

Indonesia telah mempunyai ketetapan BMR (Batas Maksimum Residu) Pestisida pada Hasil Pertanian yang dikeluarkan melalui Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 711/Kpts/TP.27/8/96. Dinyatakan bahwa hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi BMR yang ditetapkan. Sedangkan hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak.

Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu konsep dan teknologi pengelolaan hama secara global dan nasional telah diakui sebagai teknologi pengendalian hama yang efektif, efisien dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam setiap standar GAP (Good Agriculture Practice) dan Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture) seperti yang ditetapkan oleh FAO, WHO, UNEP dan juga Euregap, PHT selalu dimasukkan sebagai suatu standar wajib yang harus dilaksanakan oleh para produsen pertanian termasuk petani di Indonesia.

PHT sangat hati-hati dalam penggunaan pestisida kimia, dengan membatasi penggunaan pestisida berbahaya pada kegiatan-kegiatan pertanian maupun tidak. PHT lebih memanfaatkan pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan musuh alami seperti predator, parasitoid dan patogen serangga.

KESIMPULAN

Masalah mutu dan keamanan pangan produk pertanian pada umumnya belum menjadi perhatian utama dalam upaya untuk menembus perdagangan global. Masalah keamanan pangan seharusnya menjadi salah satu permasalahan yang harus diperhatikan. Masalah keamanan pangan terutama produk-produk pertanian belum banyak dipahami masyarakat yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kemanan produk pangan tersebut.

Mutu produk tidak hanya dilihat dari kenampakan luar (bersih atau kotor) tetapi harus diperhatikan juga aspek kesehatan, misal: kandungan mikroba patogen atau kandungan residu pestisida produk yang dipasarkan. Sebagian besar petani di Indonesia masih menerapkan pengendalian hama secara konvensional yang mengutamakan penggunaan pestisida kimia dan belum menrapkan PHT secara menyeluruh. Akibatnya produk pertanian yang dihasilkan belum dapat memenuhi standar BMRP di suatu negara.

Keberhasilan dalam upaya untuk memasarkan produk-produk pertanian harus berdasarkan pada penggunaan pestisida sesuia dengan kebutuhan dan harus menerapkan PHT.

DAFTAR PUSTAKA

Darmaga. 2007. Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan. http://infovet.blogspot.com. tgl 2007 09.

Hamzah. 2002. Musuh Alami Hama. http://www.kttp.deptan.go.id. Tgl 28 2002.

Kasumbogo. 2003. Pengendalian HAama dan Penyakit Tanaman dengan Sisitem Keamanan Pangan. http://kasumbogo.staff.ugm.ac.id. tgl19 2003 10.00 WIB.

Sulastri. 2008. Hambatan dalam Perdagangan Babas. http://www.detiknews.com 12/09/2008 08:33 WIB

Tidak ada komentar: